Kamis, 28 Juni 2012

////

Melani // Dunia Sisa

12 Oktober 2010
Sekali lagi dia menangis.

Entah ini tangisan keberapa selama seminggu ini. Setiap kali datang selalu saja dengan membawa wajah murung dan kusam. Pakaian biru tua polos lusuh dan tak bemotif selalu dia kenakan. Helaian benang terjuntai dari lengan bajunya yang robek, menggguratkan garis hitam di lengannya. Sehitam nasib yang menuntunnya kesini.

Memang beberapa hari terakhir dia tampak berbeda. Lebih pendiam dari biasanya. tanda-tandanya sudah kupahami sejak lama. Aku sangat paham dengan dirinya. Aku pasti selalu hadir di saat dia sedang bersedih atau murung. Terkadang di kala takut mencuat dari dalam dirinya, tak segan aku muncul untuk menemaninya. Namun apa dayaku untuk mengetahui lebih dalam tentang apa yang dia rasakan. Aku tak bisa. Tak akan pernah bisa. Sejujurnya aku tahu isi dalam pikiran dan hatinya. Tapi aku yakin dia tidak mengerti kalau aku tahu itu. Atau mungkin saja dia tak peduli.

Memang tak selalu aku dapat bersamanya. Kenbanyakan aku muncul saat dia sedang sedinh. Hanya sesekali saja di saat bahagia aku pernah hadir menemaninya. Itupunn dulu, dulu sekali.. 

12 Oktober 2010
Seperti biasanya, dia berkumpul dengan teman seruangannya. Bercengkrama dan menghabiskan waktu siang. Jemarinya merajut benang-benag aneka warna. Indah. Jauh lebih indah dari kisah hidupnya.

Namanya Melani, orang-orang di sini memanggilnya Lani. Paruh baya dengan usia yang masih 30an tahun. Parasnya seharusnya anggun, namun kini tertimbun rona kesedihan dan sayatan penyesalan. Tampak jelas dari tatapannya yang lebih sering kosong. Seperti siluet kesedihan yang berlatarkan senja kehidupan.

Melani. Meski bibirnya tak pernah berhenti mengabarkan senyum, namun hampa. Senyumnya pucat tanpa makna. Sepucat dinding tembok lusuh yang mengitarinya. Mencegahnya untuk menghirup udara bebas kota. Memisahkannya dari anaknya tercinta, Tunggal. 

14 Oktober 2005
Hari ini jeritannya memberikan warna baru pada harmoni fajar yang menyingsing. Peluh di dahi dan sekujur tubuhnya. Erangan dan teriakan meregang maut tatkala sang jabang bayi keluar dari rahim dan menyapa dunia dengan tangisannya.

Adalah Tunggal Buana Raya, putra pertama yang dia lahirkan tanpa diketahui oleh satupun manusia. Setiap orang sibuk dengan kepala dan perut mereka sendiri-sendiri. Tak ada sedetik waktupun untuk menengok wanita seperti Lani. Hanya aku yang tahu. Hanya aku yang ada dengannya kala itu. Menemani keluh kesahnya. Jeritan dan senyum bahagianya. Saat itulah kali terakhir kulihat Lani tersenyum dan mengundangku hadir larut dalam bahagiannya.

Dosakah dia yang telah melahirkan putra yang tak diinginkannya. Dan menambah daftar panjang calon penghuni jalanan yang kejam dan tak bertuan. 

14 Oktober 2009
Lani tampak berlari-lari melambaikan tangan dan melemparkan senyum terindah. Kakinya menjejak kuat mengejar sang buah hati yang tertawa ceria di depannya. Satu pelukan hangat dia berikan kepada Tunggal. Menggendongnya dan mengangkatnya tinggi.

“Selamat Ulang tahun, Nak. Kau akan menjadi orang yang hebat, Tunggal”.

“Ibu tak bisa memberimu apa-apa tahun ini tapi ibu tidak akan pernah meninggalkanmu seharipun. Janji!”

“Sabar ya sayang, tahun depan akan kita rayakan ulang tahun kelima-mu di pasar malam kota ini!”

Ucapannya di sambut senyuman Tunggal, yang bahkan tak tahu apa maksud kata-kata ibunya. 

01 Oktober 2010
Sakit yang diderita Tunggal kian parah. Demam tinggi membuatnya sering mengigau. Menghadirkan mimpi buruk yang nyata dalam benak Lani. Sebuah kain kompres dekil dari guntingan kaos putih tergeletak mencucurkan air di samping tempat tidur Tunggal. Kasur lipat kecil yang sudah menipis memisahkan punggung Tunggal dari dinginnya lantai semen rumah mereka. Sebungkus obat yang sudah hampir habis bersebelahan dengan baskom kompres berwarna hijau muda. Obat dari puskesmas 3 hari yang lalu. Yang Lani tebus dengan duit pinjaman dari tetangga.

Lani menatap putranya dalam. Kesedihan tergambar jelas dari rautnya. Dalam kesedihannya ini, lagi-lagi Lani memanggilku hadir. Akupun bersedia saja, toh selama ini aku telah seringkali menemaninya selagi sedih. Ingin rasanya berujar “Jangan menangis, Lani!” tapi aku tak sanggup dan tak akan pernah sanggup. 

03 Oktober 2010 
“Maling..! Maling…!!” terdengar teriakan banyak orang dari belakangku. Kian lama kian banyak dan bergemuruh. Mereka mengejar Lani.

Dengan sekuat tenaga Lani berlari di sela-sela gang sempit kota ini. Badannya sedikit menunduk ke depan mendekap sebuah kantong plastik kecil hitam. 2 kotak obat demam terbungkus awut-awutan di dalamnya.

“Wanita itu maling! Dia membeli obat di apotik tapi gak mau bayar! Ayo tangkap..!!!”
Lani kalut. Kesedihan dan ketakutan muncul lagi. Menghinggapi sekujur tubuhnya. Aku hadir bersamanya. Bahkan menemaninya sejak di apotik tadi. aku sangat ingin mencegahnya. Namun kodratnya sebagai ibu jauh lebih kuat dari pada ocehan nasehatku. Yang bahkan takkan mungkin didengarnya.
Lani tiba di depan rumahnya. Tak mau menggangu Tunggal yang terlelap lebih pulas dari malam-malam biasanya, ia meletakkan obat di samping tempat tidur Tunggal. Lani mencium kening Tunggal dalam-dalam. Sejenak kemudian Lani berlari keluar menembus malam. Sendiri. Hanya ditemani olehku dan titik demi titik gerimis yang kian deras dan menyamarkan keberadaanku di sisi Lani. 

13 Oktober 2010
Dengan baju lusuh yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya dia pakai, Lani menjalani hari. Ada yang berbeda dalam pikirannya hari ini. Dengan sedikit ragu, dia memanggil Sipir yang sedang membaca koran tak jauh darinya.

“Bu, bisakah saya minta tolong?”

“Ada apa?”

“Tolong sampaikan surat ini kepada anak saya, Tunggal. Besok dia Ulang tahun, Bu”

“Kau pikir penjara ini seperti kantor pos! Kau itu maling yang meresahkan masyarakat. Sudah untung kau hanya masuk penjara dan tidak tewas dihajar massa!”

Sipir itu menampik kertas lusuh dari Lani hingga terjatuh dan tergeletak di lantai. Lani menunduk. Diam tanpa mampu berkata-kata. Aku hadir lagi dalam kesedihannya. Aku muncul dari dua kelopak matanya yang sayu. Menyusuri kedua rona pipinya yang tersungging. Membasahi ujung bibirnya yang sedikit terangkat ke atas, seolah menahanku sejenak sebelum aku jatuh. Aku sempat melihat senyumnya terkembang sebelum aku menetes membasahi surat untuk Tunggal. Senyum yang begitu tulus dan penuh kasih sayang. Samar-samar aku masih sempat mendengar bibir lani bergetar pelan dan berujar, “Selamat Ulang Tahun, Tunggal! Jaga dirimu baik-baik, Nak” 

Taufan Arifianto - 29 Oktober 2010

1 Reaction to this post

Add Comment
  1. Anonim mengatakan... 27 Juli 2012 pukul 16.07

    Touche...
    I can see why it's called 'SISA'
    Sepertinya di masa depan cerita-cerita ini harus dibukukan, menjadi penanda dan pengingat siapapun yang membaca. Keep writing, lad!

Posting Komentar