12 Oktober 2010
Sekali lagi dia menangis.
Entah ini tangisan keberapa selama seminggu ini. Setiap kali datang
selalu saja dengan membawa wajah murung dan kusam. Pakaian biru tua
polos lusuh dan tak bemotif selalu dia kenakan. Helaian benang terjuntai
dari lengan bajunya yang robek, menggguratkan garis hitam di lengannya.
Sehitam nasib yang menuntunnya kesini.
Memang beberapa hari terakhir dia tampak berbeda. Lebih pendiam dari
biasanya. tanda-tandanya sudah kupahami sejak lama. Aku sangat paham
dengan dirinya. Aku pasti selalu hadir di saat dia sedang bersedih atau
murung. Terkadang di kala takut mencuat dari dalam dirinya, tak segan
aku muncul untuk menemaninya. Namun apa dayaku untuk mengetahui lebih
dalam tentang apa yang dia rasakan. Aku tak bisa. Tak akan pernah bisa.
Sejujurnya aku tahu isi dalam pikiran dan hatinya. Tapi aku yakin dia
tidak mengerti kalau aku tahu itu. Atau mungkin saja dia tak peduli.
Memang tak selalu aku dapat bersamanya. Kenbanyakan aku muncul saat
dia sedang sedinh. Hanya sesekali saja di saat bahagia aku pernah hadir
menemaninya. Itupunn dulu, dulu sekali..
12 Oktober 2010
Seperti biasanya, dia berkumpul dengan teman seruangannya.
Bercengkrama dan menghabiskan waktu siang. Jemarinya merajut
benang-benag aneka warna. Indah. Jauh lebih indah dari kisah hidupnya.
Namanya Melani, orang-orang di sini memanggilnya Lani. Paruh baya
dengan usia yang masih 30an tahun. Parasnya seharusnya anggun, namun
kini tertimbun rona kesedihan dan sayatan penyesalan. Tampak jelas dari
tatapannya yang lebih sering kosong. Seperti siluet kesedihan yang
berlatarkan senja kehidupan.
Melani. Meski bibirnya tak pernah berhenti mengabarkan senyum, namun
hampa. Senyumnya pucat tanpa makna. Sepucat dinding tembok lusuh yang
mengitarinya. Mencegahnya untuk menghirup udara bebas kota.
Memisahkannya dari anaknya tercinta, Tunggal.
14 Oktober 2005
Hari ini jeritannya memberikan warna baru pada harmoni fajar yang
menyingsing. Peluh di dahi dan sekujur tubuhnya. Erangan dan teriakan
meregang maut tatkala sang jabang bayi keluar dari rahim dan menyapa
dunia dengan tangisannya.
Adalah Tunggal Buana Raya, putra pertama yang dia lahirkan tanpa
diketahui oleh satupun manusia. Setiap orang sibuk dengan kepala dan
perut mereka sendiri-sendiri. Tak ada sedetik waktupun untuk menengok
wanita seperti Lani. Hanya aku yang tahu. Hanya aku yang ada dengannya
kala itu. Menemani keluh kesahnya. Jeritan dan senyum bahagianya. Saat
itulah kali terakhir kulihat Lani tersenyum dan mengundangku hadir larut
dalam bahagiannya.
Dosakah dia yang telah melahirkan putra yang tak diinginkannya. Dan
menambah daftar panjang calon penghuni jalanan yang kejam dan tak
bertuan.
14 Oktober 2009
Lani tampak berlari-lari melambaikan tangan dan melemparkan senyum
terindah. Kakinya menjejak kuat mengejar sang buah hati yang tertawa
ceria di depannya. Satu pelukan hangat dia berikan kepada Tunggal.
Menggendongnya dan mengangkatnya tinggi.
“Selamat Ulang tahun, Nak. Kau akan menjadi orang yang hebat, Tunggal”.
“Ibu tak bisa memberimu apa-apa tahun ini tapi ibu tidak akan pernah meninggalkanmu seharipun. Janji!”
“Sabar ya sayang, tahun depan akan kita rayakan ulang tahun kelima-mu di pasar malam kota ini!”
Ucapannya di sambut senyuman Tunggal, yang bahkan tak tahu apa maksud kata-kata ibunya.
01 Oktober 2010
Sakit yang diderita Tunggal kian parah. Demam tinggi membuatnya
sering mengigau. Menghadirkan mimpi buruk yang nyata dalam benak Lani.
Sebuah kain kompres dekil dari guntingan kaos putih tergeletak
mencucurkan air di samping tempat tidur Tunggal. Kasur lipat kecil yang
sudah menipis memisahkan punggung Tunggal dari dinginnya lantai semen
rumah mereka. Sebungkus obat yang sudah hampir habis bersebelahan dengan
baskom kompres berwarna hijau muda. Obat dari puskesmas 3 hari yang
lalu. Yang Lani tebus dengan duit pinjaman dari tetangga.
Lani menatap putranya dalam. Kesedihan tergambar jelas dari rautnya.
Dalam kesedihannya ini, lagi-lagi Lani memanggilku hadir. Akupun
bersedia saja, toh selama ini aku telah seringkali menemaninya selagi
sedih. Ingin rasanya berujar “Jangan menangis, Lani!” tapi aku tak
sanggup dan tak akan pernah sanggup.
03 Oktober 2010
“Maling..! Maling…!!” terdengar teriakan banyak orang dari
belakangku. Kian lama kian banyak dan bergemuruh. Mereka mengejar Lani.
Dengan sekuat tenaga Lani berlari di sela-sela gang sempit kota ini.
Badannya sedikit menunduk ke depan mendekap sebuah kantong plastik kecil
hitam. 2 kotak obat demam terbungkus awut-awutan di dalamnya.
“Wanita itu maling! Dia membeli obat di apotik tapi gak mau bayar! Ayo tangkap..!!!”
Lani kalut. Kesedihan dan ketakutan muncul lagi. Menghinggapi sekujur
tubuhnya. Aku hadir bersamanya. Bahkan menemaninya sejak di apotik
tadi. aku sangat ingin mencegahnya. Namun kodratnya sebagai ibu jauh
lebih kuat dari pada ocehan nasehatku. Yang bahkan takkan mungkin
didengarnya.
Lani tiba di depan rumahnya. Tak mau menggangu Tunggal yang terlelap
lebih pulas dari malam-malam biasanya, ia meletakkan obat di samping
tempat tidur Tunggal. Lani mencium kening Tunggal dalam-dalam. Sejenak
kemudian Lani berlari keluar menembus malam. Sendiri. Hanya ditemani
olehku dan titik demi titik gerimis yang kian deras dan menyamarkan
keberadaanku di sisi Lani.
13 Oktober 2010
Dengan baju lusuh yang sama seperti yang sebelum-sebelumnya dia
pakai, Lani menjalani hari. Ada yang berbeda dalam pikirannya hari ini.
Dengan sedikit ragu, dia memanggil Sipir yang sedang membaca koran tak
jauh darinya.
“Bu, bisakah saya minta tolong?”
“Ada apa?”
“Tolong sampaikan surat ini kepada anak saya, Tunggal. Besok dia Ulang tahun, Bu”
“Kau pikir penjara ini seperti kantor pos! Kau itu maling yang
meresahkan masyarakat. Sudah untung kau hanya masuk penjara dan tidak
tewas dihajar massa!”
Sipir itu menampik kertas lusuh dari Lani hingga terjatuh dan
tergeletak di lantai. Lani menunduk. Diam tanpa mampu berkata-kata. Aku
hadir lagi dalam kesedihannya. Aku muncul dari dua kelopak matanya yang
sayu. Menyusuri kedua rona pipinya yang tersungging. Membasahi ujung
bibirnya yang sedikit terangkat ke atas, seolah menahanku sejenak
sebelum aku jatuh. Aku sempat melihat senyumnya terkembang sebelum aku
menetes membasahi surat untuk Tunggal. Senyum yang begitu tulus dan
penuh kasih sayang. Samar-samar aku masih sempat mendengar bibir lani
bergetar pelan dan berujar, “Selamat Ulang Tahun, Tunggal! Jaga dirimu
baik-baik, Nak”
Taufan Arifianto - 29 Oktober 2010
1 Reaction to this post
Add CommentTouche...
I can see why it's called 'SISA'
Sepertinya di masa depan cerita-cerita ini harus dibukukan, menjadi penanda dan pengingat siapapun yang membaca. Keep writing, lad!
Posting Komentar